Jakarta, Kroscek.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), Yayan Alfian (YA), untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan dugaan korupsi pembangunan RSUD Kolaka Timur yang menyeret Bupati Kolaka Timur nonaktif periode 2024–2029, Abdul Azis, kader Partai NasDem.
“Ya, tentunya yang bersangkutan ada hubungannya dengan perkara yang sedang kami tangani,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Sabtu (20/9/2025). Asep menegaskan, KPK tidak akan memanggil saksi tanpa dasar keterkaitan dengan kasus.
Menurut Asep, Yayan dipanggil karena memiliki fungsi pengawasan terhadap proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur yang diduga sarat praktik rasuah. Yayan sebelumnya telah diperiksa pada 28 Agustus 2025, namun absen pada pemanggilan kedua tanggal 18 September. KPK memastikan jadwal pemanggilan ulang segera ditetapkan.
Proyek peningkatan RSUD Koltim dari tipe D menjadi tipe C merupakan bagian program Quick Wins Presiden dalam RPJMN 2025–2029, dengan dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kesehatan senilai Rp4,5 triliun secara nasional.
- Desember 2024: Kemenkes menunjuk lima konsultan, termasuk Nugroho Budiharto, untuk desain dasar 12 RSUD, salah satunya RSUD Koltim.
- Januari 2025: Pemkab Koltim bersama Kemenkes mengadakan lelang pembangunan RSUD tipe C Koltim.
- Maret 2025: Kontrak senilai Rp126,3 miliar diterbitkan. Bupati Abdul Azis bersama pejabat daerah diduga mengatur agar PT Pilar Cerdas Putra (PCP) menang tender melalui perantara Ageng Dermanto dan Andi Lukman Hakim.
- April–Agustus 2025: Terjadi serangkaian suap. Ageng menyerahkan Rp30 juta kepada Andi, kemudian menarik dana Rp2,09 miliar dari proyek; Rp500 juta diserahkan ke Ageng di lokasi proyek. Selain itu, muncul permintaan commitment fee 8% atau sekitar Rp9 miliar. Pada Agustus, Deddy mencairkan cek Rp1,6 miliar yang kemudian disalurkan ke staf Abdul Azis untuk kepentingan pribadi.
KPK menegaskan bahwa penindakan ini penting untuk menjaga integritas pembangunan fasilitas kesehatan strategis dan mencegah penyalahgunaan anggaran negara.
“Melalui koordinasi dan supervisi, kami mendorong perbaikan tata kelola sektor kesehatan baik di pusat maupun daerah,” tegas Asep.
Kasus ini menjadi peringatan bahwa pengawasan ketat dan transparansi mutlak diperlukan dalam proyek kesehatan berskala nasional agar dana publik benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, bukan oknum. (**)
Laporan : Irmayanti Daud