Jakarta, Kroscek.co.id – Skandal dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kelas C di Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) menguak praktik kolusi dan jual-beli proyek di tingkat daerah.
Skandal ini melibatkan kepala daerah, pejabat kementerian, hingga pihak swasta. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis (ABZ), sebagai tersangka utama, bersama empat orang lainnya.
KPK menegaskan, penyidikan tidak hanya berhenti pada aliran uang dari proyek, tetapi juga menelusuri dugaan pembelian aset dan potensi aliran dana ke partai politik.
“Tentu ini sedang didalami ke mana saja aliran dana yang diterima Saudara ABZ,” tegas Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) malam.
Asep menambahkan, tim penyidik tengah mengurai jaringan penggunaan dana hasil dugaan korupsi ini. “Sedang kita dalami termasuk apakah dibelikan properti dan lain-lain, atau misalkan ke partai dan lain-lain,” ujarnya.
Awal Mula Skandal: Desain RSUD yang Berujung Transaksi Gelap
Kasus ini berawal pada Desember 2024. Pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengundang lima konsultan perencana untuk membahas basic design pembangunan RSUD yang pendanaannya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Proses penunjukan dilakukan secara langsung untuk masing-masing daerah.
Untuk Kabupaten Kolaka Timur, pekerjaan basic design diserahkan kepada Nugroho Budiharto dari PT Patroon Arsindo. Tahap awal ini menjadi pintu masuk permainan proyek.
Pertemuan Rahasia dan Pengaturan Lelang
Januari 2025, pertemuan antara Pemkab Koltim dan Kemenkes dilakukan untuk membahas teknis lelang pembangunan RSUD Tipe C.
Dalam forum ini, Ageng Dermanto (AGD) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menyerahkan sejumlah uang kepada Andi Lukman Hakim (ALH), Pejabat Person in Charge Kemenkes untuk proyek tersebut.
Tak lama berselang, Abdul Azis bersama jajaran Pemkab Koltim terbang ke Jakarta. Tujuannya, menurut KPK, jelas: mengatur pemenang lelang.
Perusahaan yang diarahkan untuk menang adalah PT Pilar Cerdas Putra (PCP), yang sudah diumumkan ikut tender di laman LPSE Koltim.
“Saudara ABZ bersama GPA selaku Kepala Bagian PBJ Pemkab Koltim, DA, dan NS selaku Kadinkes Koltim menuju ke Jakarta diduga untuk melakukan pengkondisian agar PT PCP memenangkan lelang,” ungkap Asep.
Proyek Ratusan Miliar dan Fee 8% untuk Bupati
Pada Maret 2025, kontrak senilai Rp 126,3 miliar diteken antara PPK dan PT PCP. Di balik kontrak resmi ini, Abdul Azis disebut meminta commitment fee sebesar 8%, atau setara Rp 9 miliar.
Aparat KPK mencatat, pada Agustus 2025, Deddy Karnady (DK) dari PT PCP mencairkan cek senilai Rp 1,6 miliar, menyerahkannya kepada AGD, yang kemudian diteruskan ke Yasin (YS), staf pribadi Abdul Azis.
Dana itu, menurut KPK, digunakan untuk membiayai kebutuhan pribadi sang bupati.
Potensi Jejak Dana ke Politik dan Aset
Pernyataan KPK soal kemungkinan aliran dana ke partai politik menandakan potensi pelebaran kasus ini.
Bila terbukti, kasus Koltim dapat menjadi bukti nyata bahwa korupsi proyek infrastruktur daerah tak hanya memperkaya individu, tetapi juga menghidupi mesin politik.
Dugaan pembelian properti dari hasil korupsi juga menjadi fokus. Pola ini lazim ditemukan dalam banyak kasus serupa, dana disamarkan lewat pembelian tanah, rumah, atau aset mewah untuk mengaburkan jejak uang haram.
Atas perbuatannya, Abdul Azis dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, serta Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman untuk pasal-pasal tersebut dapat mencapai pidana penjara seumur hidup.
Lima Tersangka dalam Satu Jaringan
KPK menetapkan lima tersangka:
- Abdul Azis (ABZ) – Bupati Kolaka Timur
- Andi Lukman Hakim (ALH) – PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD Koltim
- Ageng Dermanto (AGD) – PPK Proyek RSUD Koltim
- Deddy Karnady (DK) – Pihak swasta, PT PCP
- Arif Rahman (AR) – Pihak swasta, KSO PT PCP
Kasus ini bukan insiden tunggal. Modus penunjukan langsung pada tahap perencanaan, lalu pengaturan lelang di tahap eksekusi, menjadi pola yang berulang di berbagai daerah.
Skema ini kerap memanfaatkan dana pusat, dalam hal ini DAK, yang seharusnya digunakan murni untuk peningkatan pelayanan publik.
Korupsi di sektor kesehatan memiliki dampak langsung terhadap keselamatan publik. RSUD yang mestinya menjadi tulang punggung layanan kesehatan di Kolaka Timur kini justru menjadi ladang bancakan elite daerah dan oknum kementerian. (**)
Laporan : Muh. Sahrul