Kendari, Kroscek.co.id – Jembatan Teluk Kendari, yang dikenal sebagai ikon infrastruktur modern di ibu kota Sulawesi Tenggara, kini justru kerap dikaitkan dengan tragedi kemanusiaan berupa aksi bunuh diri.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ir. Ridwan Bae, menyatakan bahwa fenomena ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurutnya, situasi ini mencerminkan persoalan multidimensional yang saling berkaitan, baik dari sisi psikologis, lingkungan, maupun struktural.
“Dari sisi fisik, struktur jembatan yang tinggi dan melintang di atas perairan menjadikannya secara kasat mata ‘strategis’ bagi individu yang tengah dilanda keputusasaan,” ungkap Ridwan Bae kepada Kroscek.co.id, Kamis malam (05/06/2025).
Keberadaan pagar pembatas yang tidak cukup tinggi, serta minimnya pengawasan, turut memperbesar kerentanan jembatan sebagai lokasi aksi bunuh diri. Dalam kondisi emosional yang tidak stabil, akses yang mudah ke titik-titik rawan dapat menjadi celah fatal.
Selain itu, Ridwan menyoroti masih minimnya layanan kesehatan mental di ruang publik. Banyak kasus bunuh diri, kata dia, berakar pada depresi, tekanan hidup, atau gangguan kejiwaan lain yang tidak tertangani secara tepat.
Ketika seseorang tidak menemukan ruang aman untuk berbagi atau mendapatkan pertolongan, mereka cenderung merasa terisolasi dan tidak memiliki jalan keluar.
“Pemerintah harus hadir untuk rakyatnya. Isu ini bukan sekadar masalah individu, tapi refleksi dari sistem sosial yang belum adaptif terhadap krisis mental,” tegasnya.
Pihaknya juga mengingatkan soal efek psikososial yang disebut Werther effect, yakni penularan tindakan bunuh diri karena pemberitaan yang berulang.
Ketika Jembatan Teluk Kendari terus-menerus dikaitkan dengan bunuh diri, ada risiko individu lain yang sedang dalam krisis terdorong melakukan hal serupa di lokasi yang sama.
“Ini menjadi tantangan etis bagi media dan tanggung jawab besar bagi pihak berwenang dalam mengelola narasi publik,” tambah Ridwan.
Di sisi lain, lemahnya sistem pengamanan seperti patroli rutin, kamera pengawas aktif, hingga ketiadaan pesan-pesan peringatan yang mengandung unsur harapan membuat upaya deteksi dini terhadap aksi bunuh diri menjadi hampir mustahil dilakukan.
Harusnya, kehadiran simbol-simbol dukungan seperti hotline kesehatan mental atau papan berisi pesan empatik dapat menjadi warning harapan bagi mereka yang sedang berjuang dalam sunyi.
“Permasalahan ini harus ditangani secara holistik. Intervensi tidak hanya berfokus pada aspek fisik jembatan, tetapi juga pada penguatan layanan psikososial, edukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental, serta pelibatan lintas sektor dalam menciptakan sistem pendukung yang nyata,” pungkasnya.
Jembatan Teluk Kendari seharusnya menjadi simbol koneksi dan harapan, bukan titik akhir dari rasa putus asa. (**)
Laporan : Muh. Sahrul