Konawe Utara, Kroscek.co.id – Sidang lapangan sengketa lahan antara warga Desa Mandiodo dan Tapunggaeya dengan PT Antam Tbk di Kecamatan Molawe, Konawe Utara, Jumat (3/10/2025), membuka babak baru perlawanan rakyat kecil terhadap raksasa tambang.
Di bawah pengawalan ketat, majelis hakim PN Unaaha turun langsung ke lokasi bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konut untuk mencocokkan titik koordinat dengan peta polygon.
Verifikasi ini penting, sebab menjadi penentu apakah lahan 15 hektare milik Basir M dan warga lainnya benar-benar masuk ke wilayah tambang yang kini dikuasai PT Antam.
Rakyat Bawa SKT, Korporasi Klaim Ganti Rugi!

Kuasa hukum penggugat, Rois, S.Si., S.H., M.H., menjelaskan kliennya, Basir M, memiliki empat Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sah secara hukum, bahkan diperkuat dengan sejumlah putusan pengadilan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung.
Ironinya, lahan tersebut telah ditambang PT Antam melalui pihak terkait tanpa ganti rugi. PT Antam berkilah sudah membayar kompensasi, tetapi verifikasi membuktikan pembayaran itu atas nama pihak lain, bukan pemilik sah lahan.
“Ini bukan sekadar soal lahan, tetapi soal hak rakyat yang terampas. PT Antam mengklaim sudah membayar, tapi kenyataannya bukan kepada pemilik sebenarnya,” tegas Rois.
Hukum Jelas, Tapi Rakyat Masih Terabaikan

Penggugat mendasarkan gugatan pada asas forum rei sitae, sesuai Pasal 118 HIR/142 RBg, bahwa perkara tanah harus diperiksa di pengadilan negeri tempat objek berada. Upaya PT Antam menggiring perkara ke PN Jakarta Selatan sudah dimentahkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa sistem hukum mengakui posisi rakyat. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah hukum akan benar-benar berpihak pada keadilan, atau tunduk pada kuasa korporasi?
Jejak Putusan: Rakyat Pernah Menang, Antam Masih Menguasai
Perlawanan Basir M bukan tanpa dasar. Ia sudah memegang putusan PK No. 15 PK/Pid/2015, putusan perdata PN Unaaha 2023, putusan banding PT DKI 2024, hingga putusan kasasi MA 2024. Semua memperkuat legalitas lahannya.
Namun, di lapangan, lahan tersebut tetap dikeruk dan diolah. Inilah ironi panjang: rakyat menang di atas kertas, tetapi kalah di tanahnya sendiri.
Sidang lapangan ini bukan sekadar perkara 15 hektare tanah. Lebih dari itu, ia adalah ujian bagi integritas hukum di Indonesia, apakah pengadilan benar-benar melindungi hak rakyat kecil, atau justru memberi karpet merah kepada korporasi besar dengan modal kuat.
Sidang lanjutan dijadwalkan Senin (6/10/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi. Bagi warga Mandiodo dan Tapunggaeya, inilah kesempatan emas membuktikan bahwa negara masih hadir untuk rakyatnya.
Jika pengadilan kelak berpihak pada bukti sah yang dimiliki warga, maka perkara ini bisa menjadi yurisprudensi penting sekaligus peringatan keras bahwa sebesar apa pun korporasi, ia tidak bisa menginjak hak rakyat.
Namun jika sebaliknya, perkara ini akan menjadi catatan kelam, bagaimana rakyat kalah di tanahnya sendiri, sementara hukum yang seharusnya melindungi justru tak berdaya menghadapi kuasa modal. (**)
Laporan : Muh. Sahrul