Konawe Utara, Kroscek.co.id – Hingga berita ini diturunkan, jasad Nurlian, warga Kelurahan Wanggudu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe Utara (Konut) belum ditemukan setelah diterkam buaya di Sungai Lasolo, Senin siang dini hari (6/10/2025).
Sejak kejadian itu, tim gabungan dari BPBD Konawe Utara, Basarnas, Damkar Konawe Utara, aparat TNI, Kepolisian, dan warga terus melakukan pencarian tanpa henti.
Tim menyusuri arus deras sungai menggunakan perahu karet, Katinting, jaring, dan peralatan seadanya. Air yang keruh dan deras menjadi tantangan besar, namun semangat pencarian tak surut.
Namun di balik upaya heroik para petugas dan relawan itu, mengemuka pertanyaan besar: mengapa ancaman buaya di Sungai Lasolo terus berulang tanpa langkah pencegahan yang jelas?

Anggota DPRD Konawe Utara, Fendrik, S.Kom, dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), menyoroti keras kejadian tersebut. Ia menilai bahwa tanggung jawab moral dan hukum atas keselamatan warga ada di tangan negara, instansi teknis seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara serta Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara.
“Negara wajib menjamin keselamatan rakyat sekaligus menjaga kelestarian satwa liar. Jika Sungai Lasolo sudah lama dikenal sebagai habitat buaya, seharusnya ada zona larangan, papan peringatan, serta patroli rutin. Ketika langkah-langkah dasar ini tidak dilakukan, maka setiap korban bukanlah sekadar takdir, tetapi akibat dari kelalaian sistem,” tegas Fendrik.
Fakta di lapangan menunjukkan, beberapa tahun terakhir Sungai Lasolo tidak lagi sekadar bentang alam alami, melainkan kawasan yang mengalami tekanan serius akibat aktivitas manusia, penebangan liar, sedimentasi dari tambang, hingga berkurangnya kawasan hutan di hulu sungai.
Perubahan ekosistem itu membuat habitat buaya terganggu, memaksa satwa predator tersebut mendekat ke permukiman warga.
Ironisnya, hingga kini belum tampak kebijakan antisipatif yang nyata.
Papan peringatan hampir tidak ada, patroli satwa liar minim, dan edukasi kepada masyarakat nyaris absen. Warga hidup dalam ketidaktahuan dan rasa was-was, sementara ancaman datang tanpa aba-aba.
Sejumlah aktivis lingkungan menyebut tragedi ini sebagai “alarm keras” BKSDA Sultra. Sungai Lasolo bukan hanya sumber ekonomi rakyat, tetapi juga ruang hidup ekologis yang seharusnya dilindungi dengan kebijakan terukur dan berkelanjutan.
“Kalau tidak ada mitigasi kebijakan dan intervensi nyata, kasus seperti ini hanya menunggu waktu untuk berulang terus menerus,” Tegas Fendrik.
Menurut Pemuda Andowia ini, bahwa Pemerintah daerah yakni BPBD Konut dan Damkar Konut, saat ini telah bergerak cepat dan tanggap pascakejadian.
Namun langkah reaktif BKSDA Sultra telah lalai, sekeras apa pun, tidak akan menggantikan pentingnya kebijakan preventif.
Penanganan kasus buaya bukan sekadar mencari korban, tetapi bagaimana memastikan tidak ada korban berikutnya. Tragedi Nurlian adalah cermin retak dari lemahnya tanggung jawab ekologis.
Keamanan lingkungan hidup dan keselamatan warga tampak belum menjadi prioritas utama. Sungai yang tampak tenang di permukaan, ternyata menyimpan ancaman yang lahir dari pembiaran sistemik.
Di balik jeritan Amrullah, suami korban yang menyaksikan langsung detik-detik istrinya diseret ke tengah sungai, tersisa satu pertanyaan getir: “Berapa lagi nyawa yang harus hilang, sebelum negara benar-benar hadir?”.
Pencarian masih berlangsung. Harapan masih menggantung di atas air keruh Sungai Lasolo. Namun satu hal pasti, tragedi ini tak boleh berhenti di laporan pencarian.
Fendrik mengajak semua untuk merenungi, dan harus menjadikan momentum reflektif bagi seluruh pemangku kepentingan menata ulang kebijakan keselamatan publik dan perlindungan ekosistem sungai di Konawe Utara.
“Sebab di balik setiap korban, tersimpan kewajiban Negara yang tak boleh lagi diabaikan. Saya meminta kepada BKSDA Sultra wajib melindungi keselamatan warga sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem satwa liar,” Jelasnya.
Jika tak ada perubahan cara pandang BKSDA Sultra, maka bukan mustahil korban berikutnya tinggal menunggu giliran. Dan ketika itu terjadi, buaya mungkin masih di sungai, tapi kesalahan tetap di daratan, di tangan kita semua.
“Jika serangan buaya terjadi di wilayah yang diketahui habitat satwa dilindungi, pemerintah dan BKSDA Sultra wajib melakukan patroli dan evakuasi satwa liar yang mengancam keselamatan warga di sungai Lasolo yang diketahui dari dulu sumber ekonomi masyarakat,” Tegas Fendrik. (**)
Laporan: Muh. Sahrul