Konawe Selatan, Kroscek.co.id – Alih-alih menjadi jalan keluar, langkah Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan (Pemkab Konsel) membentuk Tim Terpadu untuk menangani konflik agraria di Kecamatan Angata justru dinilai sebagai pendekatan sepihak yang berisiko memperdalam krisis pertanahan.
Tim yang dibentuk pada 31 Juli 2025 itu dikecam karena dibentuk tanpa partisipasi warga terdampak, tanpa pengawasan independen, dan tanpa keterlibatan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi konflik agraria di wilayah tersebut.
Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kisran Makati, menyatakan bahwa pembentukan tim tersebut menandakan watak birokratis Pemkab Konsel yang gagal memahami akar persoalan.
“Pemerintah daerah justru sedang melegitimasi praktik pengingkaran hak rakyat. Di mana posisi warga? Di mana transparansi? Ini bukan solusi, ini manuver legal untuk menutup mata dari jeritan ribuan warga yang tanahnya dirampas,” tegas Kisran, Sabtu (02/08/2025).
Konflik agraria antara warga Kecamatan Angata dan PT Marketindo Selaras (PT MS) bukan perkara baru. Warga telah menempati dan mengelola tanah tersebut secara turun-temurun, sebagai tempat tinggal, ladang penghidupan, dan ruang hidup yang menyatu dengan nilai-nilai sosial budaya.
Namun, klaim sepihak dari PT MS atas wilayah tersebut muncul tanpa dasar transparansi dokumen, tanpa proses verifikasi partisipatif, serta tanpa pengakuan atas sejarah penguasaan lahan oleh warga.
“PT MS tiba-tiba datang mengklaim sebagai pemilik sah, tanpa pernah menyentuh realitas sosial di lapangan. Tanah kami dianggap kosong. Kami dianggap ilegal di kampung sendiri,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya karena alasan keamanan.
Situasi ini menggambarkan satu dari banyak kasus ketimpangan struktural penguasaan tanah di Indonesia, di mana perusahaan memiliki akses penuh pada perangkat legal formal, sementara warga hanya memiliki ingatan sejarah dan bukti penguasaan sosial-budaya yang sering tak diakui secara hukum.
Kisran menilai pembentukan Tim Terpadu ini merupakan bentuk “pengelolaan konflik dari atas ke bawah”, di mana Negara bertindak sebagai wasit sekaligus pembela kepentingan korporasi.
“Bagaimana mungkin konflik ini diselesaikan tanpa mendengar suara warga yang menjadi korban? Ini bukan penyelesaian, ini manipulasi prosedural,” tegasnya.
Tim Terpadu yang dibentuk juga tidak berada dalam kerangka Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), padahal GTRA adalah mekanisme resmi negara sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 dan diperbarui melalui Perpres No. 62 Tahun 2023.
Pelanggaran terhadap Semangat Reforma Agraria
Dalam Reforma Agraria, terdapat prinsip fundamental yang tak bisa diabaikan:
- Pengakuan atas sejarah penguasaan tanah oleh rakyat, bukan sekadar sertifikat legal formal;
- Keterbukaan data dan informasi, terutama yang menyangkut status legalitas lahan dan peta konsesi;
- Keterlibatan aktif masyarakat, termasuk melalui GTRA, dalam proses validasi data, investigasi lapangan, hingga pengambilan keputusan.
Tim Terpadu Pemkab Konsel melangkahi seluruh prinsip tersebut. Tanpa integrasi dengan GTRA, tanpa partisipasi rakyat, dan tanpa transparansi data, maka apapun hasilnya tidak dapat disebut sebagai “penyelesaian”, melainkan simulasi penyelesaian.
Perlunya Transparansi, Partisipasi, dan Akuntabilitas
PuSPAHAM mengajukan serangkaian tuntutan solutif kepada Pemkab Konawe Selatan untuk menyelamatkan integritas penanganan konflik ini:
- Membuka seluruh dokumen pembentukan, susunan, dan mekanisme kerja Tim Terpadu ke hadapan publik.
- Melibatkan warga terdampak, organisasi masyarakat sipil, tokoh adat, dan akademisi dalam proses investigasi dan pengambilan keputusan.
- Mengintegrasikan Tim Terpadu dalam struktur GTRA Kabupaten agar memiliki legitimasi nasional dan tidak bertindak di luar mandat Reforma Agraria.
- Melakukan audit transparansi terhadap legalitas klaim PT Marketindo Selaras, termasuk dokumen HGU, izin lingkungan, hingga proses perolehan lahan.
- Melaporkan hasil kerja Tim secara berkala kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas kepada rakyat.
Solusi Tak Bisa Instan: Dengarkan Rakyat, Akui Sejarah
Konflik agraria tak bisa diselesaikan dengan pendekatan instan dan birokratis. Ia menuntut keberanian politik, pengakuan atas sejarah rakyat, dan kemauan untuk berdiri di sisi keadilan, bukan di sisi yang kuat secara hukum tetapi lemah secara etika.
“Tanah rakyat tak bisa dijawab dengan formalitas. Pemerintah harus berpihak pada keadilan, bukan sekadar keabsahan dokumen. Jika tidak, maka pemerintahlah yang menciptakan konflik baru,” pungkas Kisran.
Selama pendekatan sepihak terus dilanggengkan, konflik agraria di Konawe Selatan hanya akan berganti wajah: dari konflik terbuka menjadi penderitaan senyap.
“Saatnya negara hadir bukan sebagai perantara korporasi, tapi sebagai penjaga konstitusi. Tanah rakyat harus dikembalikan kepada rakyat”.
Laporan : Muh. Sahrul