Longsor dan Konflik Lahan Ancam Warga, Rumah dan Fasilitas Umum Masuk dalam IUP

- Redaksi

Selasa, 29 Juli 2025 - 08:01 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kepala Desa Boedingi, Aksar.

Kepala Desa Boedingi, Aksar.

Konawe Utara, Kroscek.co.id – Aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan PT Daka Group dan PT Paramita di Desa Boedingi, Kecamatan Lasolo Kepulauan (Laskep), Kabupaten Konawe Utara (Konut), memunculkan kekhawatiran serius.

Operasi penambangan yang berada sangat dekat dengan permukiman warga dan fasilitas umum, termasuk SDN 3 Lasolo Kepulauan, menimbulkan ancaman nyata berupa longsor dan konflik lahan.

Kepala Desa Boedingi, Aksar, menjelaskan bahwa salah satu dampak paling mencolok adalah seringnya terjadi longsor di sekitar area tambang saat musim hujan.

“Setiap musim hujan, longsor kerap terjadi. Pemerintah desa bersama warga biasanya langsung menyampaikan ke perusahaan untuk segera membendung titik longsor agar tidak meluas dan mengancam rumah warga,” jelas Aksar saat dikonfirmasi, Senin (28/7/2025).

Selain itu, keberadaan jeti milik perusahaan yang berlokasi sangat dekat dengan permukiman dan sekolah juga menjadi sorotan.

Aksar mengaku tidak mengetahui secara pasti siapa yang memberikan izin pembangunan jeti tersebut. Ia hanya menyebut bahwa jeti sudah ada sebelum Desa Boedingi didefinitifkan, padahal Gedung SDN 3 Lasolo Kepulauan telah lebih dahulu berdiri.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan keselamatan warga, khususnya anak-anak sekolah.

Tak jarang warga mendapati bahwa rumah tinggal, kebun, hingga fasilitas umum mereka masuk dalam wilayah konsesi tambang nikel yang dipegang oleh perusahaan swasta.

Baca Juga :  Lurah Wanggudu: Kalau Mau Ngebut, Bukan di Jalan Raya, Nak., di Arena Saja!

Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah pusat, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengeluarkan izin tambang tanpa pernah melakukan verifikasi lapangan?

Pasalnya, peta konsesi yang dijadikan dasar pemberian IUP ternyata tidak hanya mencakup lahan kosong atau hutan, tetapi juga masuk ke pemukiman penduduk. Beberapa rumah warga secara administratif masuk dalam koordinat wilayah tambang.

“Kami tidak pernah diberitahu. Tiba-tiba rumah kami masuk peta wilayah tambang,” ujar salah seorang warga yang terdampak.

Izin di Atas Meja?

Sejumlah pengamat menilai, fenomena ini mencerminkan masih kuatnya budaya perizinan “di atas meja”, di mana keputusan administratif tidak disertai dengan kunjungan lapangan atau konsultasi dengan warga terdampak.

Dalam banyak kasus, penerbitan IUP hanya didasarkan pada data spasial yang belum diperbarui dan tidak merefleksikan kondisi riil di lapangan.

“Ini bukan hanya persoalan teknis, tapi pelanggaran serius terhadap hak asasi warga negara atas tanah, tempat tinggal, dan penghidupan,” tegas seorang warga tak mau disebut identitasnya ke Publik.

Kewenangan Terpusat, Masalah Mengakar!

Sejak terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), kewenangan pemberian IUP ditarik dari pemerintah daerah ke tangan pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM.

Baca Juga :  Naniyatin Pacu Akselerasi Pembangunan Desa Mowundo Berbasis Potensi Lokal

Ironisnya, alih-alih memperbaiki tata kelola, kebijakan ini justru memperlebar jarak antara pengambil kebijakan dan realitas sosial ekologis di daerah.

“Bagaimana mungkin pemerintah pusat bisa memahami kompleksitas wilayah yang jauh, jika proses verifikasi tidak dilakukan secara langsung?” Bebernya.

Rakyat Terpinggirkan, Investasi Diutamakan

Dalam berbagai laporan, warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik atau sosialisasi sebelum izin diterbitkan.

Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa hak-hak masyarakat dikorbankan demi percepatan investasi.

Mirisnya, tidak sedikit IUP yang tumpang tindih dengan lahan adat, pemukiman, hingga zona fasilitas publik seperti sekolah dan rumah ibadah.

Kebisingan, debu, hingga potensi kecelakaan menjadi risiko yang tidak bisa diabaikan. Persoalan tata ruang dan tumpang tindih perizinan juga memunculkan pertanyaan soal keseriusan pengawasan oleh instansi terkait.

Sisi Positif Kehadiran Perusahaan 

Namun demikian, Aksar mengakui bahwa kehadiran perusahaan tambang turut memberikan kontribusi sosial kepada warga.

Melalui program CSR, setiap kepala keluarga menerima satu karung beras setiap bulan, voucher listrik, dan dana royalti yang dibayarkan setelah pemuatan 10 tongkang selesai dilakukan.

“Royalti yang diterima rata-rata Rp3 juta per KK. Saya ambil langsung dari pihak perusahaan dan kami salurkan ke warga,” terangnya.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa tambang juga berkontribusi mengurangi pengangguran dan potensi kriminalitas di wilayah tersebut.

Baca Juga :  DPP KNPI Desak Presiden dan Menteri ESDM Cabut Seluruh IUP di Pulau Kabaena

“Ketika banyak warga bekerja, maka potensi tindakan kriminal seperti pencurian juga menurun,” tambahnya.

Hingga saat ini, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Desa Boedingi.

Namun, hanya dua perusahaan yang aktif, yaitu PT Daka Group dan PT Paramita. Tiga lainnya, termasuk PT Primastian, masih belum memulai kegiatan operasional.

Catatan Redaksi Kroscek.co.id :

Situasi di Desa Boedingi memperlihatkan bagaimana konflik ruang dan kepentingan dapat berdampak langsung pada keselamatan warga.

Meskipun ada manfaat ekonomi yang dirasakan, persoalan keselamatan, lingkungan, dan tata kelola perizinan memerlukan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pusat.

Menyikapi temuan ini, masyarakat sipil dan lembaga pengawas tambang mendesak Kementerian ESDM untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh IUP yang berpotensi menimbulkan konflik lahan dan sosial.

Evaluasi ini harus melibatkan warga terdampak dan dilakukan secara transparan.

“Sudah cukup masyarakat jadi korban akibat kesalahan administrasi dan tata kelola tambang yang buruk. Negara harus hadir untuk melindungi warganya, bukan justru menjadi fasilitator bagi kepentingan korporasi tambang,”.

Perlindungan terhadap ruang hidup masyarakat tidak boleh dikompromikan oleh aktivitas industri, terlebih ketika menyangkut fasilitas pendidikan dan keselamatan anak-anak. (**)


Laporan : Muh. Sahrul

Berita Terkait

Karya Anak Lokal, “Sumile Mbangga” Sampaikan Pesan Kuat Penjilat Jabatan
Lebih dari Sekadar Medali: Wujud Disiplin, Latihan, dan Dedikasi
Bupati Ikbar Terbitkan Surat Edaran : Seluruh ASN dan PPPK Wajib KTP Konut
PuSPAHAM: Surat Bupati Konawe Selatan Tak Cukup, GTRA Harus Segera Dibentuk!
Tiga Kades di Oheo Disorot, Forkawa Konut: Berita Tak Boleh Jadi Alat Tekanan
Akhir Penantian Panjang! Ini Jadwal Penerimaan SK PPPK Tahap I Konawe Utara
Padi Gogo, Sawit, dan Nilam dari Ladang Harapan ‘OTW’ Lumbung Swasembada Konut
Forum Pembangunan Sulawesi, Bupati Konut Usulkan Tata Ruang Berbasis Kepulauan

Berita Terkait

Selasa, 29 Juli 2025 - 18:08 WITA

Karya Anak Lokal, “Sumile Mbangga” Sampaikan Pesan Kuat Penjilat Jabatan

Selasa, 29 Juli 2025 - 13:53 WITA

Lebih dari Sekadar Medali: Wujud Disiplin, Latihan, dan Dedikasi

Selasa, 29 Juli 2025 - 08:01 WITA

Longsor dan Konflik Lahan Ancam Warga, Rumah dan Fasilitas Umum Masuk dalam IUP

Selasa, 29 Juli 2025 - 06:50 WITA

Bupati Ikbar Terbitkan Surat Edaran : Seluruh ASN dan PPPK Wajib KTP Konut

Senin, 28 Juli 2025 - 16:48 WITA

PuSPAHAM: Surat Bupati Konawe Selatan Tak Cukup, GTRA Harus Segera Dibentuk!

Berita Terbaru

error: Dilarang Copy Paste!