Konawe Utara, Kroscek.co.id – Aroma ketegangan menyelimuti ruang rapat DPRD Konawe Utara, Senin (21/7/2025). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi III DPRD Konut, PT Daka Group akhirnya “duduk satu meja” dengan pemerintah dan masyarakat.
Namun, alih-alih menjernihkan suasana, kehadiran perusahaan tambang ini justru disambut dengan kecaman keras dari para legislator.
Rapat yang dipimpin langsung Ketua Komisi III DPRD Konut, Samir, S.Ip., M.Si, berlangsung panas sejak awal.
Ia tak segan melayangkan kritik tajam terhadap PT Daka yang dinilai abai terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan, terutama menyangkut nasib SD Negeri 3 Lasolo Kepulauan (Laskep) yang sudah terjebak dalam lumpur dan debu tambang sejak 2019.
“Perusahaan ini tidak ada manfaatnya untuk daerah! Ini bukan investasi, ini perampokan kekayaan negara dengan mengabaikan kewajiban sosial. Jangan hanya sibuk gali ore, tapi lupa gali empati,” tegas Samir, dengan intonasi yang membelah suasana.
Sayangnya, perwakilan yang hadir dari pihak perusahaan bukan dari jajaran manajemen utama, melainkan hanya dari divisi Keselamatan dan Teknik Tambang (KTT).
Hal ini membuat Komisi III semakin geram dan mempertanyakan keseriusan PT Daka dalam menghadapi masalah krusial yang sudah berjalan lebih dari enam tahun.
RDP kali ini juga dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Konut, Asmadin, S.Pd., M.M, Kepala Desa Boedingi, Kepala Sekolah SDN 3 Laskep, serta berbagai pihak terkait lainnya.
Masing-masing menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi sekolah yang kian memburuk, meskipun relokasi sudah dijanjikan sejak 2019.
“Jangan sampai anak-anak kita tumbuh besar dalam lingkungan pendidikan yang justru mengancam kesehatan mereka. Ini bukan sekadar lumpur, ini lumpur tanggung jawab yang tidak pernah dikeringkan oleh PT Daka,” cetus salah satu anggota dewan, yang disambut anggukan setuju dari peserta rapat.
Meski berbagai kritik tajam dilontarkan, pihak perusahaan dinilai tidak memberikan jawaban yang konkret atau peta jalan yang jelas soal relokasi sekolah.
Komitmen yang seharusnya dituangkan dalam tindakan nyata, kembali menguap menjadi pernyataan klise.
RDP ini menjadi momentum penting yang menunjukkan bahwa isu tambang tidak hanya soal izin dan ore, tetapi juga tentang masa depan generasi penerus dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
“Kalau tambang menguntungkan tapi merusak pendidikan, maka itu bukan investasi, itu bencana berkedok legalitas,” Tegas Samir, menyindir keras.
Dengar pendapat masih terus berlangsung. Aroma pertanyaan-pertanyaan tajam belum sepenuhnya reda, dan bola panas kini berada di tangan PT Daka, apakah akan bertanggung jawab, atau terus bersembunyi di balik jargon korporasi?. (**)
Laporan : Muh. Sahrul