Revisi RTRW Sultra, PuSPAHAM dan WALHI : Jalan Mulus Oligarki, Jalan Buntu untuk Rakyat

- Redaksi

Selasa, 10 Juni 2025 - 07:50 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Kisran Makati (kiri), dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra, Andi Rahman (kanan).

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Kisran Makati (kiri), dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra, Andi Rahman (kanan).

Kendari, Kroscek.co.id – Revisi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali menuai kecaman luas.

Revisi ini diduga menjadi pintu masuk legalisasi industri pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Wawonii (Kabupaten Konawe Kepulauan) dan Pulau Kabaena (Kabupaten Bombana).

Organisasi masyarakat sipil dan komunitas terdampak menilai dokumen ini menjadi legitimasi atas ekspansi industri ekstraktif, termasuk tambang dan perkebunan skala besar, ke wilayah-wilayah ekologis rentan seperti pulau kecil dan kawasan lindung.

Substansi revisi RTRW tersebut diduga memberi jalan mulus bagi oligarki tambang, namun menjadi jalan buntu bagi masyarakat lokal yang terdampak langsung. Hal itu terlihat dalam dokumen dan peta revisi RTRW terbaru yang tengah disusun.

Peta revisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara (Sultra).

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Kisran Makati, menyebut revisi RTRW ini bertentangan langsung dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang pertambangan di pulau kecil.

“Alih-alih melindungi ruang hidup masyarakat pulau, revisi RTRW ini justru memberi legalitas pada aktivitas yang selama ini terbukti menghancurkan,” ujar Kisran, Senin (10/6/2025).

Fakta di lapangan menunjukkan skala kerusakan dan ancaman ekologis yang mengkhawatirkan.

Sulawesi Tenggara saat ini tercatat memiliki 367 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif, 16 Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor industri ekstraktif, serta ratusan izin perkebunan yang memperluas deforestasi dan konflik agraria. Revisi RTRW dianggap akan semakin mempercepat kerusakan.

Dampak Ekologis dan Sosial: Nyata dan Meluas

Kerusakan yang terjadi akibat industri ekstraktif bukan lagi potensi, tetapi telah menjadi kenyataan pahit di berbagai wilayah Sultra:

  1. Pulau Wawonii dan Kabaena mengalami perampasan ruang hidup, hilangnya mata air, dan konflik sosial, terutama antar warga. Perempuan dan anak-anak turut menanggung beban ganda akibat tekanan sosial-ekologis yang memburuk.
  2. Morosi dan Kapoiala (Konawe) mencatat pencemaran berat Sungai Konaweha, rusaknya infrastruktur publik karena truk hauling tambang, serta paparan debu nikel yang mengancam kesehatan warga.
  3. Pomalaa (Kolaka) terdampak pencemaran Sungai Oko-oko, menyebabkan gagal panen dan rusaknya sumber mata pencaharian petani. Wilayah desa kini digeser oleh proyek smelter nikel yang semakin ekspansif.
  4. Routa (Konawe), lokasi konsesi PT Stania Cipta Mandiri, mengalami kerusakan pada hulu sungai dan zona penyangga hutan lindung. Sumber air hilang, dan kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi berubah menjadi zona industri tanpa batas.
  5. Blok Mandiodo teridentifikasi memiliki 387 lubang tambang terbuka, tumpang tindih dengan permukiman warga, dan minimnya upaya reklamasi pasca tambang.

Kisran menegaskan bahwa tidak ada pemberdayaan ekonomi rakyat yang berjalan.

“Ketika wilayah kelola dihancurkan, masyarakat dipaksa bergantung pada tambang. Hutan tinggal dalam peta, anoa hanya tinggal cerita,” Tegas Kisran Makati.

Tata Ruang untuk Siapa?

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra, Andi Rahman, menyoroti proses penyusunan revisi RTRW yang berlangsung secara tertutup dan tanpa partisipasi publik sejati.

Kawasan lindung diubah menjadi zona industri, pesisir dan tangkapan air menjadi target investasi tambang, serta masyarakat adat dan nelayan sama sekali tidak dilibatkan.

“Ini bukan tata ruang untuk rakyat. Ini tata ruang untuk oligarki,” tegasnya.

Andi menambahkan bahwa revisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip partisipasi publik yang dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan.

WALHI menyebut revisi RTRW sebagai bentuk rekayasa teknokratis yang melanggengkan kekuasaan modal dan mengorbankan hak-hak masyarakat.

Tuntutan Tegas: Hentikan dan Tinjau Ulang RTRW Sultra

PuSPAHAM Sultra dan WALHI Sultra menyampaikan lima poin tuntutan terhadap revisi RTRW ini:

  1. Kepada DPRD dan Gubernur Sultra:
    • Segera hentikan proses pembahasan dan pengesahan revisi RTRW yang cacat hukum dan substansi.
    • Tinjau ulang dokumen secara menyeluruh dengan partisipasi masyarakat terdampak, akademisi independen, dan organisasi sipil.
  2. Kepada Kementerian ATR/BPN:
    • Tolak persetujuan teknis-substansi terhadap RTRW Sultra yang melegalkan tambang di pulau kecil dan kawasan lindung.
    • Lakukan audit tata ruang pesisir, terutama Pulau Wawonii, Kabaena, dan wilayah tumpang tindih izin.
  3. Kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri):
    • Tolak pengesahan Perda RTRW jika terbukti bertentangan dengan UU No. 1/2014 dan UU No. 23/2014.
    • Instruksikan perbaikan proses penyusunan RTRW agar lebih partisipatif dan adil bagi rakyat.
  4. Kepada Presiden RI:
    • Lakukan moratorium terhadap PSN dan ekspansi tambang di pulau kecil dan wilayah tangkapan air.
    • Pastikan penataan ruang nasional dan daerah sejalan dengan komitmen iklim, hak masyarakat adat, dan transisi energi berkeadilan.
  5. Kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan:
    • Lakukan investigasi terhadap pelanggaran HAM akibat proyek-proyek industri yang difasilitasi melalui RTRW, terutama terhadap perempuan, anak, dan masyarakat adat.

Jalan Buntu untuk Rakyat

Revisi RTRW Sultra bukan sekadar dokumen perencanaan teknis, melainkan alat kuasa yang menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus dikorbankan.

Jika disahkan, maka 367 IUP tambang, 16 PSN, dan ratusan izin perkebunan akan semakin difasilitasi ekspansinya, sementara masyarakat lokal hanya mendapat jalan buntu. (**)


Laporan : Muh. Sahrul

Berita Terkait

Penataan Kawasan Kumuh Pesisir Kendari Dapat Perhatian Serius DPR RI dan Dirjen
Transformasi PBB Sultra Menuju Era Baru: Politik Anak Muda untuk Indonesia Emas 2045
DPRD Sultra: Nelayan Wakatobi Tidak Boleh Hanya Jadi Penonton di Kampung Sendiri
Aksi Heroik BPBD Konawe Utara Selamatkan Jasad Korban Tenggelam di Pantai Taipa
Jembatan Teluk Kendari Simbol Harapan, Bukan Titik Akhir Keputusasaan
Pemerintah Harus Bersikap Soal Rentetan Aksi Bunuh Diri di Jembatan Teluk Kendari
Rentetan Aksi Bunuh Diri di Jembatan Teluk Kendari: Perlu Langkah Preventif Pemerintah
Lagi, Aksi Percobaan Bunuh Diri Seorang Ibu dan Anak di Jembatan Teluk Kendari

Berita Terkait

Selasa, 10 Juni 2025 - 15:02 WITA

Penataan Kawasan Kumuh Pesisir Kendari Dapat Perhatian Serius DPR RI dan Dirjen

Selasa, 10 Juni 2025 - 10:19 WITA

Transformasi PBB Sultra Menuju Era Baru: Politik Anak Muda untuk Indonesia Emas 2045

Selasa, 10 Juni 2025 - 07:50 WITA

Revisi RTRW Sultra, PuSPAHAM dan WALHI : Jalan Mulus Oligarki, Jalan Buntu untuk Rakyat

Senin, 9 Juni 2025 - 18:51 WITA

DPRD Sultra: Nelayan Wakatobi Tidak Boleh Hanya Jadi Penonton di Kampung Sendiri

Jumat, 6 Juni 2025 - 16:54 WITA

Jembatan Teluk Kendari Simbol Harapan, Bukan Titik Akhir Keputusasaan

Berita Terbaru

error: Dilarang Copy Paste!