Penulis : Muh. Sahrul
Oleh : Redaksi Kroscek.co.id
Jembatan Teluk Kendari dibangun dengan semangat konektivitas, menghubungkan dua daratan, mempercepat mobilitas, dan menghadirkan wajah baru bagi kota Kendari sebagai gerbang pertumbuhan Sulawesi Tenggara.
Namun, beberapa tahun setelah diresmikan, jembatan ini justru mulai dikenal dengan wajah berbeda: sebagai lokasi sejumlah aksi bunuh diri yang menyayat hati.
Pertanyaannya, mengapa tempat yang seharusnya melambangkan harapan justru menjadi titik akhir bagi mereka yang kehilangan harapan? Jawabannya tidak sederhana.
Ini bukan semata persoalan pagar jembatan yang terlalu rendah atau minimnya patroli keamanan. Ini adalah cerminan dari sesuatu yang lebih dalam: krisis kesehatan mental, kesenjangan sosial, dan kurangnya ruang aman bagi warga untuk mengungkapkan tekanan hidup mereka.
Insiden terbaru, ketika seorang ibu nyaris mengakhiri hidupnya bersama sang anak di jembatan tersebut, memperlihatkan bahwa kita berada di ambang darurat empati.
Beruntung, nyawa keduanya berhasil diselamatkan oleh petugas yang sigap. Namun, berapa banyak yang tidak sempat tertolong? Berapa banyak yang merasa sendiri dan tak terdengar?
Anggota DPR RI, Ir. Ridwan Bae, telah menyerukan langkah konkret: peninggian pagar, pengawasan rutin, serta keterlibatan pemerintah daerah dan instansi terkait.
Ini langkah penting, namun tidak cukup. Jembatan tidak hanya perlu diperkuat secara fisik, tetapi juga secara sosial dan emosional.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar pagar tinggi. Kita butuh pesan-pesan harapan, nomor darurat layanan psikologis, ruang konseling terbuka di sekitar lokasi, hingga kampanye publik yang menyampaikan satu hal: kamu tidak sendiri.
Kita juga butuh media yang lebih etis dalam memberitakan insiden seperti ini, agar tidak memicu efek domino atau Werther effect.
Jembatan Teluk Kendari harus kita rebut kembali maknanya. Ia harus kembali menjadi simbol yang mengangkat manusia, bukan meruntuhkannya. Simbol masa depan, bukan akhir jalan. Simbol koneksi, bukan keterputusan.
Karena satu nyawa yang diselamatkan, adalah satu masa depan yang dipertahankan. Dan itu, seharusnya menjadi prioritas bersama. (**)