Konawe Utara, kroscek.co.id – Disaat sebagian orang masih bingung membedakan padi gogoh, Jagung dan nama konten YouTuber, warga Desa Tetelupai justru sudah lebih dulu menancapkan harapan mereka di lahan pertanian yang kini kembali hidup.
Tidak dengan gegap gempita konser atau suara toa kampanye, tapi dengan cangkul, benih, dan peluh dalam semangat gotong royong yang membumi, bukan hanya slogan.
Hari itu, suasana di Desa Tetelupai tampak sedikit berbeda dari biasanya. Camat Lasolo, Samsul, bersama Sekcam Irsan dan rombongan kepala desa, ikut turun ke sawah.
Bukan untuk konten TikTok ala petani musiman, tapi benar-benar ikut menanam padi gogoh dan Jagung, varietas lokal yang tangguh, tahan cuaca, dan tentu saja, tidak perlu dipancing dengan drama politik untuk tumbuh.
“Ini bukan seremoni pelengkap kalender tahunan, ini perjuangan nyata. Kita ingin Desa Tetelupai jadi simbol kedaulatan pangan Konawe Utara. Bukan hanya penonton dari jauh, tapi pelaku dari dekat,” ujar Camat Samsul dengan semangat ala motivator, tapi tetap berkaki di lumpur, bukan di karpet merah.
Padi gogoh ini memang bukan padi biasa. Ia tumbuh bukan karena disiram pujian, tapi karena adaptif, cepat panen, dan bisa diajak kerja sama meski hanya mengandalkan tadah hujan.
Cocok dengan karakter masyarakat Lasolo yang ulet, tidak mudah mengeluh, dan hanya butuh sedikit perhatian pemerintah untuk bisa menghasilkan banyak.
Program penanaman ini adalah bagian dari implementasi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, kedaulatan pangan bukan hanya mimpi di atas PowerPoint, tapi aksi nyata di tanah desa. Dan dari sini, langkah kecil itu dimulai.
Kepala Desa Tetelupai, Asmudin Moita, yang juga dikenal sebagai Ketua APDESI Konut, tak kalah semangatnya.
“Kami tanam dua hektare padi gogoh. Sebentar lagi, 1,5 hektare untuk jagung juga siap. Ini bukan sekadar tanam, ini pengabdian. Karena bagi kami, membangun desa dimulai dari memberi makan keluarga sendiri. Sisanya, baru kita pikirkan mau jadi influencer tani atau tidak,” ujarnya sambil tertawa.
Menurut Asmudin, program ini bukan sekadar strategi pembangunan, tapi gerakan budaya. “Kita ini bangsa agraris. Masa iya, berasnya masih banyak dari luar.
Kalau petani Tetelupai bisa bangkit, berarti semua desa juga bisa,” tegasnya sambil sesekali mengatur posisi caping agar tidak kalah gaya di foto dokumentasi.
Tak lupa, para tokoh masyarakat dan pemuda desa juga terlibat langsung. Ada yang menyemai benih, ada juga yang menyemai harapan lewat candaan, “Kalau panen ini sukses, bisa-bisa kita bikin festival gogoh dan jagung bakar tahunan!”.
Kegiatan ini bukan sekadar tanam, foto, lalu bubar. Ia adalah awal dari ekosistem baru di desa, mengurangi ketergantungan dari luar, memperkuat kemandirian lokal, serta menjadi bukti bahwa membangun negeri tak selalu harus dimulai dari ibu kota.
Kini, saat masyarakat kota sibuk menanam ‘engagement’ di media sosial, masyarakat Tetelupai menanam sesuatu yang lebih nyata, padi gogoh.
Harapanpun mulai tumbuh. Bukan dari pidato di podium, tapi dari tanah, peluh, dan keyakinan bersama kelompok tani.
Karena sejatinya, kedaulatan pangan tak lahir dari ruang AC, tapi lahir dari ladang yang dipijak dengan ketulusan hati yang tak gampang tersakiti. (**)
Laporan : Muh. Sahrul