Kendari, Kroscek.co.id – Dugaan pengrusakan terumbu karang di zona usaha PT Wakatobi Dive Resort (WDR) terus menuai kecaman, menyusul terungkapnya fakta bahwa enam orang security perusahaan menjadi pihak yang disalahkan atas aksi pengerukan terumbu karang untuk kepentingan akses operasional perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Advokat, Dedi Ferianto, S.H., C.M.L.C., menilai langkah tersebut sebagai upaya perusahaan mencuci tangan dan melepaskan tanggung jawab.
Menurut Dedi, tidak mungkin tindakan seberani itu dilakukan oleh bawahan tanpa arahan dari atasan. Ia menekankan bahwa secara logika maupun hukum, karyawan tidak akan melakukan pengerusakan lingkungan yang berisiko tanpa adanya perintah atau restu dari manajemen perusahaan.
“Segala tindakan bawahan pasti berdasarkan perintah atau sepengetahuan pimpinan. Sangat tidak masuk akal jika hanya security yang diminta bertanggung jawab atas aktivitas yang merusak ekosistem laut seperti ini,” tegasnya Dedi Ferianto, Jum’at (13/06/2025).
Dedi juga mengingatkan bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (1) huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam, pemegang izin usaha wisata alam wajib menjaga kelestarian kawasan.
Selain itu, Ketentuan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Direksi berkewajiban menjalankan dan melakukan pengawasan atas operasional perusahaan sehari-hari agar dapat berjalan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
“Tindakan pengrusakan terumbu karang terjadi dalam zona kawasan usaha PT. WDR, pelakunya adalah 6 karyawan PT. WDR dan tidak dilakukan hanya dalam waktu satu hari tetapi 1-2 bulan,” Bebernya.
Dalam hal ini, PT WDR sebagai pemegang izin usaha di kawasan Taman Nasional Wakatobi, tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas kerusakan terumbu karang yang terjadi di wilayah operasionalnya.
“Tidak masuk logikanya jika tindakan tersebut tidak diketahui oleh Direksi Perusahaan yang berkewajiban menjalankan operasional perusahaan sehari-hari,” Keluhnya.
Dedi menilai bahwa tindakan perusahaan yang berusaha menutupi keterlibatan struktural dalam kasus ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip tanggung jawab lingkungan dan bisa dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.
“Kita tidak bisa membiarkan pelaku usaha berlindung di balik pekerja rendahan untuk menghindari jeratan hukum. Negara harus hadir membela lingkungan dan masyarakat,” tambahnya.
Ia juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta pengelola Taman Nasional Wakatobi untuk melakukan investigasi menyeluruh dan menyasar seluruh rantai tanggung jawab, bukan hanya menindak individu di lapangan.
Bagi Dedi, akar persoalan justru terletak pada manajemen perusahaan yang diduga lalai atau bahkan memberikan instruksi secara langsung.
“Direksi PT. WDR telah lalai menjalankan tugasnya dan wajib bertanggung jawab secara hukum,” Imbuhnya.
Kasus ini menjadi sorotan serius karena menyangkut kawasan konservasi strategis nasional dan keberlangsungan ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat lokal.
“Peristiwa ini telah resmi kami Laporkan di Polda Sultra. Selanjutnya kita menyerahkan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan upaya hukum penyelidikan dan penyidikan lebih dalam terhadap peran para Pelaku,” Tutupnya.
Pemerintah pun didorong untuk tidak mentolerir pelanggaran hukum lingkungan, apalagi bila dilakukan oleh pelaku usaha yang seharusnya menjadi mitra dalam konservasi. (**)
Laporan : Muh. Sahrul