Konawe Utara, Kroscek.co.id – Pencarian terhadap Nurlian, warga Kelurahan Wanggudu, Kecamatan Asera, yang diterkam buaya di Sungai Lasolo pada Senin siang (6/10/2025), masih terus dilakukan hingga malam ini.
Tim gabungan dari BPBD Konawe Utara, Basarnas, Damkar, aparat TNI, Polri, dan warga setempat bekerja siang dan malam menyisir arus deras sungai menggunakan perahu karet dan jaring seadanya. Namun hingga hari keempat, jasad korban belum ditemukan.
Ditengah pencarian itu, suasana di Sungai Lasolo semakin mencekam. Warga yang dilanda ketakutan dilaporkan telah menangkap dan mematikan sepuluh ekor buaya di sekitar lokasi kejadian.
Aksi spontan ini dilakukan secara massal dengan peralatan seadanya, sebagai bentuk kepanikan dan upaya melindungi diri dari ancaman predator yang kerap muncul di permukaan sungai.
Namun langkah itu justru memunculkan kekhawatiran baru. Sejumlah pihak mengingatkan bahwa tindakan pemusnahan satwa liar yang dilindungi berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dalam aturan tersebut, buaya termasuk satwa yang berada di bawah perlindungan hukum, meskipun penanganan populasi liar tetap dapat dilakukan oleh otoritas berwenang seperti BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam).
“Aksi penangkapan satwa secara massal oleh massa yang geram adanya buaya memakan manusia. Kita semua paham situasi panik, tapi tindakan seperti itu tetap harus dalam kendali aparat dan instansi teknis,” ujar Masnur Tepamba, Senin malam, pukul 23.48 WITA, Salah satu relawan yang turut memantau pencarian di lokasi.
Tragedi ini menjadi alarm keras atas absennya mitigasi sistematis dari instansi terkait, khususnya BKSDA Sulawesi Tenggara.
Warga sudah lama melaporkan kemunculan buaya di aliran Sungai Lasolo, namun hingga kini tak ada papan peringatan, patroli, maupun penanganan populasi yang terukur.
Situasi itu membuat masyarakat hidup di antara rasa takut dan ketidakpastian hukum di satu sisi harus melindungi diri, di sisi lain berhadapan dengan potensi jerat hukum konservasi.
Anggota DPRD Konawe Utara, Fendrik, S.Kom, kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa berdiam diri menghadapi situasi ini.
“Negara tidak boleh hadir hanya setelah korban jatuh. Harus ada kebijakan nyata zona larangan, peringatan dini, patroli rutin, dan edukasi warga. Kalau semuanya dibiarkan seperti ini, tragedi demi tragedi hanya akan terulang,” tegasnya.
Fendrik menilai aksi warga sebagai bentuk putus asa kolektif akibat kelambanan BKSDA dalam melindungi warga.
“Kalau buaya sudah sepuluh ekor ditangkap dan korban tetap belum ditemukan, itu artinya ekosistem sudah rusak total. Buaya kehilangan habitat, manusia kehilangan rasa aman, dan BKSDA kehilangan kendali,” Jelas Fendrik.
Hingga kini, tim gabungan masih melanjutkan pencarian jasad korban, menyusuri aliran sungai hingga radius beberapa kilometer dari lokasi kejadian.
Situasi di lapangan masih dipenuhi keluarga, kerabat korban, dan warga yang berjaga, berharap jasad korban segera ditemukan, serta warga ingin memastikan sungai itu kembali aman untuk dilalui.
Namun di balik semua itu, Sungai Lasolo kini menyimpan luka ekologis yang dalam antara ketakutan rakyat yang nyata dan kelalaian kebijakan yang diam. (**)
Laporan: Muh. Sahrul