Konawe Utara, Kroscek.co.id – Dilembar putusan pengadilan, rakyat Mandiodo sudah jelas-jelas dimenangkan. SKT (Surat Keterangan Tanah) mereka sah, pengadilan negeri hingga tingkat kasasi mengakui hak itu.
Namun, di tanah yang sama, di lahan yang mereka jaga turun-temurun, alat berat perusahaan tambang terus beroperasi. Tanah yang seharusnya menjadi milik rakyat justru dikuasai korporasi.
Inilah ironi hukum di Negeri yang mengaku menjunjung tinggi keadilan. Rakyat boleh menang di atas kertas, tetapi kalah di tanahnya sendiri.
Ketua Koalisi Rakyat Konawe Utara untuk Keadilan Tambang, Hendrik, menyebut persoalan Mandiodo sebagai wajah telanjang ketidakberpihakan Negara pada rakyat kecil.
“Apa artinya kemenangan hukum kalau rakyat tetap terusir dari tanahnya? Putusan pengadilan seharusnya menjadi final dan mengikat. Namun di Mandiodo, hukum hanya berhenti di lembar putusan, sementara realitas lapangan dikendalikan modal dan kuasa,” tegas Hendrik, Sabtu (04/10/2025).
Hendrik menilai, lemahnya keberpihakan aparat penegak hukum dan lambannya pemerintah dalam menegakkan aturan membuka ruang Impunitas bagi perusahaan tambang.
Rakyat yang menggantungkan hidup pada tanah kini terpaksa menonton lahan mereka diratakan tanpa kompensasi, tanpa keadilan.
Koordinator Forum Komunikasi Wartawan (Forkawa) Konawe Utara, Syaifuddin, mengatakan, bahwa kasus Mandiodo bukan sekadar sengketa pertanahan, tetapi uji moralitas negara dalam melindungi warganya.
“Media tidak boleh diam. Kami akan terus mengawal kasus ini. Kalau negara abai, rakyat bisa kehilangan kepercayaan. Jangan biarkan hukum hanya jadi alat legitimasi korporasi, sementara rakyat dibiarkan merintih tanpa perlindungan,” ujarnya.
Putusan Ada, Keadilan Tiada!
Dalam putusan kasasi hingga peninjauan kembali, jelas dinyatakan bahwa SKT atas nama Basir M dan sejumlah warga lainnya sah dan berlaku.
Namun ironisnya, perusahaan Plat Merah itu (PT Antam red) tetap mengklaim lahan itu dengan dalih sudah membayar ganti rugi kepada pihak lain yang tak memiliki keterkaitan dengan tanah yang disengketakan.
“Rakyat sudah berkali-kali memenangkan perkara di pengadilan. Tapi apa gunanya kalau putusan hanya berhenti di atas kertas? Di tanahnya sendiri, rakyat tetap kalah. Antam dan pihak-pihak terkait masih terus menguasai lahan itu, seakan hukum tidak punya arti,” tegas Syaifuddin.
Fakta ini menunjukkan adanya permainan abu-abu yang merugikan rakyat. Bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dihadirkan dalam sidang lapangan harus bekerja keras melakukan pencocokan koordinat, seolah kebenaran masih harus diuji ulang meski sudah ada putusan hukum.
Syaifuddin menegaskan, kasus Mandiodo adalah cermin betapa hukum bisa lumpuh saat berhadapan dengan kepentingan modal besar.
Ia menambahkan, sengketa ini bukan hanya soal kepemilikan tanah, melainkan menyangkut hak hidup masyarakat lokal yang bergantung pada tanah tersebut untuk bertani dan menghidupi keluarga mereka.
Pihaknya menekankan pentingnya peran media untuk mengawal kasus ini. Menurutnya, masyarakat butuh ruang untuk bersuara, sementara media punya kewajiban moral untuk memastikan kebenaran tidak tenggelam di balik kepentingan modal.
“Kami tidak bisa menutup mata. Forkawa berkomitmen menjaga agar persoalan ini tetap terpublikasi. Jangan sampai rakyat dikorbankan dalam sunyi, sementara perusahaan terus mengeruk keuntungan,” ujar Syaifuddin.
Tanggung Jawab Negara yang Hilang
Kuasa hukum penggugat, Rois, S.Si., S.H., M.H., menjelaskan kliennya, Basir M, memiliki empat Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sah secara hukum, bahkan diperkuat dengan sejumlah putusan pengadilan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung.
Ironinya, lahan tersebut telah ditambang PT Antam melalui pihak terkait tanpa ganti rugi. PT Antam berkilah sudah membayar kompensasi, tetapi verifikasi membuktikan pembayaran itu atas nama pihak lain, bukan pemilik sah lahan.
“Ini bukan sekadar soal lahan, tetapi soal hak rakyat yang terampas. PT Antam mengklaim sudah membayar, tapi kenyataannya bukan kepada pemilik sebenarnya,” tegas Rois.
Koalisi Rakyat mendesak DPRD dan Pemda Konawe Utara untuk mengambil sikap tegas. Regulasi daerah harus berpihak pada rakyat, audit tambang harus segera dilakukan, dan keterlibatan pengusaha lokal harus diatur.
Lebih jauh, negara harus hadir memastikan kompensasi yang adil bagi rakyat yang kehilangan tanah.
“Kalau hukum tidak lagi melindungi rakyat, lalu untuk siapa hukum dibuat? Mandiodo adalah pengingat bahwa keadilan bisa ditulis, tapi tak bisa dirasakan,” pungkas Hendrik.
Kini, warga Mandiodo hanya bisa bertanya, sampai kapan mereka harus berjuang mempertahankan tanah yang sudah mereka menangkan di pengadilan? Apakah negara akan terus menutup mata, atau akhirnya berpihak pada mereka yang benar-benar pemilik sah lahan itu?.
Di tengah kebisuan institusi, suara rakyat Mandiodo menjadi gema yang menggugah nurani: bahwa keadilan bukan sekadar keputusan di atas kertas, tetapi keberanian negara untuk berdiri di sisi yang benar. (**)
Laporan : Muh. Sahrul