Konawe Selatan, Kroscek.co.id – Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyoroti kian meluasnya konflik agraria di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) yang melibatkan sejumlah korporasi besar dan wilayah permukiman warga, termasuk kawasan transmigrasi.
PuSPAHAM menilai, penanganan pemerintah daerah, khususnya lewat surat imbauan Bupati, belum menyentuh akar persoalan dan justru akan memperlemah posisi masyarakat.
Sejumlah perusahaan yang disebut kerap bersinggungan langsung dengan masyarakat antara lain PT. Tiran, PT. Bosowa, PT. Merbau Indah Raya Group, PT. Kilau Indah Cemerlang, PT. SMB–PT. BMP, PT. Marketindo Selaras, PT. Ifish Deco, dan PT. Kapas Indah Indonesia.
Bahkan konflik agraria antara masyarakat dan pihak TNI AU di Ranomeeto pun belum menemukan penyelesaian konkret.
“Konflik agraria tidak bisa diselesaikan dengan surat imbauan sepihak. Dibutuhkan pendekatan kelembagaan yang partisipatif dan sistemik,” tegas Kisran Makati, Direktur PUSPAHAM Sultra.
GTRA Bukan Opsi, Tapi Kewajiban Konstitusional
Mengacu pada Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, PUSPAHAM mendesak Pemkab Konawe Selatan untuk segera membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
GTRA merupakan forum multi-pihak yang menghadirkan unsur ATR/BPN, kehutanan, akademisi, masyarakat sipil, dan komunitas terdampak guna mengurai sengkarut konflik agraria secara adil dan konstitusional.
Tanpa GTRA, kata Kisran, penanganan konflik akan terus terfragmentasi dan rentan mengabaikan keadilan struktural.
“Reforma Agraria bukan janji politik, tapi mandat konstitusi. Negara tak boleh netral dalam konflik agraria. Keberpihakan harus jelas: kepada rakyat,” ujarnya.
PuSPAHAM Desak Tindakan Nyata: Audit, Cabut, dan Hentikan Intimidasi
PuSPAHAM Sultra menilai, akar konflik agraria di Konawe Selatan tak lepas dari perizinan yang lemah secara hukum, tumpang tindih wilayah kelola, dan lemahnya pengawasan atas ekspansi korporasi. Oleh karena itu, pihaknya mendesak:
- Pembentukan GTRA Konawe Selatan dengan partisipasi semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat terdampak.
- Audit menyeluruh atas legalitas HGU, IUP, dan AMDAL yang berbenturan dengan hak warga dan kawasan hutan.
- Pencabutan izin korporasi yang terbukti melanggar hukum atau mengabaikan hak rakyat.
- Penghentian kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya.
- Intervensi langsung pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Desa untuk konflik di wilayah transmigrasi dan kehutanan.
PuSPAHAM Sultra mengingatkan bahwa pembiaran konflik agraria merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 28H ayat (4) UUD 1945
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH
- Prinsip-Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGP)
- Konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia
“Jika penyelesaian terus ditunda, yang terjadi bukan sekadar konflik, tapi krisis keadilan. Pemerintah wajib hadir untuk rakyat, bukan bersembunyi di balik imbauan,” tutup Kisran. (**)
Laporan : Muh. Sahrul