Konawe Utara, Kroscek.co.id – Di tengah riuh rendah suara pro-kontra dari warga desa yang kadang lebih heboh dari grup WhatsApp RT, Kepala Desa Mowundo, Naniyatin, S.Pd., tampil tenang tapi tegas.
Lewat pernyataan terbukanya ke publik, ia menegaskan satu hal penting, pengelolaan Dana Desa Bukan Soal Selera Pribadi, Tapi Soal Amanah dan Akuntabilitas”.
“Dana Desa bukan milik kepala desa, tapi milik masyarakat. Dan setiap rupiah harus bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya di meja laporan, tapi juga di hati nurani warga,” ujarnya, Jum’at (18/7/2025).
Naniyatin tak hanya bicara, ia juga buka data. Dokumen anggaran tahun 2022, 2023, hingga Anggaran 2024 diperlihatkan sebagai bukti keseriusan.
Jumlahnya bukan main dari Rp713 juta di tahun 2022 hingga meningkat menjadi Rp722 juta di tahun 2024. Tapi bukan besar kecilnya anggaran yang jadi inti, melainkan ke mana dan untuk siapa dana itu mengalir.
Tahun 2022, ketahanan pangan disuntik Rp142 juta, bukan untuk beli mie instan, tapi demi mendukung kemandirian desa. BLT tetap hadir, karena hidup warga tak bisa ditunda.
Tahun 2023, pemberdayaan dan dana tak terduga naik jadi 44,5% dari total anggaran. Tahun 2024, program prioritas tetap pada BLT dan penguatan ekonomi desa seperti BUMDes.
“Kadang perubahan anggaran bukan karena suka-suka, tapi karena realita di lapangan. Kita harus adaptif,” katanya sambil menunjukkan tabel anggaran yang warnanya lebih ramai dari corak batik lokal.
Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2022 dialokasikan sesuai prioritas nasional dan kebutuhan lokal. Dengan total pagu anggaran sebesar Rp713.094.000, sejumlah program pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan sosial diutamakan untuk menjawab kebutuhan mendesak masyarakat.
Anggaran DD tahun 2022 lebih diarahkan pada sektor-sektor strategis, di antaranya ketahanan pangan, bantuan langsung tunai (BLT), kesehatan, dan pendidikan desa.
Diantaranya: KWH listrik desa (Rp20.122.500 untuk 5 unit), Operasional SDGs Desa (Rp5.863.800), Stunting dan Kesehatan Anak (Rp9.200.000), dan Honor Posyandu dan Perawat Desa (Rp10.800.000+Rp18.000.000)
Pos BLT menempati porsi terbesar dalam struktur anggaran. Di tahun 2023, BLT menyerap Rp176.400.000 (24,62%), dan di tahun 2024 kembali dialokasikan dengan jumlah yang sama untuk 49 KPM, atau 24,4% dari total DD. Sementara itu, kegiatan non esensial seperti perayaan menyerap Rp40–41 juta.
Tak semua orang puas. Ada yang bilang program penting malah dihapus, ada juga yang curiga kalau perubahan anggaran mirip plot twist sinetron. Naniyatin tidak menghindar.
“Kritik itu penting, seperti vitamin. Tapi kalau disampaikan lewat berita tanpa data, dan disebar lewat status Facebook tanpa verifikasi, ya jadinya hoaks bukan masukan,” ujarnya dengan senyum datar.
Ia mengajak masyarakat aktif ikut musyawarah, bukan hanya aktif di kolom komentar media sosial. Karena, menurutnya, desa hanya bisa maju jika pengawasan datang dari niat baik, bukan dari niat viral.
Naniyatin menyadari bahwa bantuan sosial memang penting, tapi masa depan desa tidak bisa bergantung selamanya pada BLT.
Oleh karena itu, ia mendorong arah kebijakan ke program jangka panjang, penguatan ketahanan pangan, Koperasi Merah Putih, optimalisasi BUMDes, pertanian, dan pengembangan potensi lokal.
“Kalau terus-terusan berharap BLT, kapan desa ini mandiri? Yang muda harus mulai berpikir buka usaha, bukan buka tangan,” tegasnya.
Ia menyebut, pembangunan desa bukan sekadar soal laporan rampung, tapi soal perubahan yang benar-benar bisa dirasakan. Bagi Naniyatin, warisan terbaik bukan jalan rabat beton semeter dua meter, melainkan masyarakat yang melek anggaran, melek usaha, dan melek masa depan.
“Setiap perubahan anggaran itu bukan cuma angka, tapi arah. Kita tidak sedang main teka-teki, tapi sedang merancang masa depan desa mowundo,” jelasnya.
Pernyataan Naniyatin ini menjadi angin segar di tengah sorotan publik nasional terhadap pengelolaan Dana Desa. Ia ingin membuktikan bahwa pemerintahan desa juga bisa dikelola secara profesional, meski dengan sandal jepit dan kopi hitam di meja rapat.
Namun tantangan ke depan tak ringan. Konsistensi menjadi kunci, karena transparansi yang hanya muncul menjelang laporan tahunan ibarat pelangi habis hujan, cantik, tapi cepat hilang.
“Kalau kita serius membangun, jangan takut dibongkar. Karena yang dibangun dengan niat baik, insyaAllah kuat,” tutupnya, sembari mengingatkan bahwa jabatan kepala desa itu bukan tahta, tapi tanggung jawab.
Dengan pola kepemimpinan yang terbuka dan pendekatan yang lebih membumi, Pemerintah Desa Mowundo berupaya melangkah dari sekadar “laporan selesai” menuju “perubahan terasa.”
Karena di era sekarang, masyarakat tak butuh pemimpin yang pandai bicara, tapi yang berani transparan dan konsisten bekerja. **
Laporan: Muh. Sahrul