[responsivevoice_button voice=”Indonesian Male” buttontext=”BACAKAN“]
KENDARI, KROSCEK.NET – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengurai dua isu penting dalam rapat Forum Multi Stakeholder Group Extractive Industries Tranparancy Initiative Indonesia (EITI Indonesia) telah usai berlangsung dua hari pada tanggal 18 hingga 19 Mei 2022 di Yogyakarta.
Gubernur Sultra, H. Ali Mazi yang diwakili oleh Pj. Sekda Pemprov Sultra, Drs. Asrun Lio, mengungkapkan tentang Provinsi Sultra yang juga terdapat industri ekstraktif pertambangan mineral dan batu bara.
Pj. Sekda Sultra, Drs. Asrun Lio didampingi Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Sultra, Ridwan Boci mengatakan, dua isu penting tersebut adalah, Pertama terkait dengan pajak daerah khususnya bidang usaha pertambangan seperti pajak air permukaan, pajak alat berat, pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
Kedua, yakni terkait dengan keanggotaan daerah atau wilayah penghasil dalam Multi Stakeholder Group Extractive Industries Transparancy Initiative Indonesia (MSG EITI Indonesia).
“Forum Industri Ekstraktif merupakan usaha dan kegiatan industri yang mengambil serta mengolah bahan baku dari alam secara langsung dan bersifat paling mendasar. Maka tentu dampaknya begitu luar biasa, khususnya pada sektor pertambangan mineral maupun batubara,” ucap lulusan S3 The Australian National University of Cambera ini.
Dari beberapa poin diatas, Asrun Lio yang juga menjabat sebagai Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sultra ini mengungkapkan, jika industri pertambangan telah menimbulkan ketimpangan dalam risiko maupun manfaat.
Resiko Terbesar Ditanggung Oleh Masyarakat dan Daerah
Dimana sumber daya alam pertambangan dieksplotasi, sementara manfaat terbesar dinikmati oleh perusahaan dan investor yang mengambilnya. Pada fase produksi, seyognya kegiatan industri ektraktif dapat memberikan dampak ekonomi besar bagi masyarakat, pemerintah daerah, dan negara Indonesia. Peluang ketenagaakerjaan dan peluang bisnis lokal untuk memasok material dan jasa harusnya meningkat.
Oleh karena itu Asrun Lio menyebutkan realitas industri ekstraktif di daerah sebagai penghasil sumber daya alam pertambangan sangat ironi dan memilukan. Sebab Manfaat ekonomi terbesar yang diperoleh oleh negara dari industri ekstraktif bersumber dari Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Manfaat ekonomi terbesar ini lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat ketimbang pemerintah daerah yang mendapatkan Dana Transfer dari Dana Bagi Hasil hanya bersumber dari Iuran Tetap dan Royalti Penjualan dan Pajak Bumi dan Bangunan, sedangkan Penerimaan Pajak yang bersumber dari kegiatan usaha pertambangan tidak ada bagi hasil untuk Pemerintah Daerah,” tutur akademisi asal Moronene Bombana ini.
Hal tersebut menurut Asrun Lio sangat jelas sebagaimana pengaturan pada pasal 112 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana tidak ada Dana Bagi Hasil Pajak (Pph Pasal 25 dan Pph Pasal 29) untuk Pemerintah Daerah yang bersumber dari Badan Usaha yang mengusahakan kegiatan usaha pertambangan dan badan usaha pada umumnya.
“Karena dibatasi hanya Wajib Pajak Orang Pribadi. Masih ketentuan komponen pajak yang lain yang tidak dibagihasilkan pada daerah penghasil sumber daya alam,” ujar Mantan Kepala Pusat Studi Eropa UHO ini.
“Adapun hal ini menjadi Pekerjaan Rumah bagi kita semua. khususnya Pemerintah Pusat selaku pembuat undang-undang (regulasi) nasional sehingga ketimpangan ini tidak dipertahankan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara yang begitu memiliki potensi sumber daya pertambangan alam mineral dan batubara yang cukup besar,” sambungnya.
Lanjutnya, apalagi mineral logam terbesar merupakan jenis komodi nikel yang tersebar pada 14 kabupaten/kota dan komoditi aspal 4 kabupaten di Pulau Buton. Dan Pengusahaan Pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 263 Izin Usaha Pertambangan.
Mantan Sekretaris Dewan Kehormatan Kode Etik UHO ini menuturkan Provinsi Sulawesi Tenggara telah memberikan konstribusi Penerimaan Negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak pertambangan mineral dan batubara yang bersumber dari Iuran Tetap dan Royalti pada dua tahun terakhir berdasarkan hasil rekonsiliasi 1,6 Triliun Rupiah pada Tahun 2020 dan 2,8 Triliun Rupiah Tahun 2021.
“Apabila dilihat dari sudut produksi dan penjualan, angka ini harusnya bisa jauh lebih besar. Maka dari itu Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengusulkan agar Pajak hasil pengelolaan sumber daya alam diberikan Dana Transfer Ke Daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH),” Imbunya.
Koreksi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terkait pasal 112 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Wajib Pajak Badan Usaha tidak dibagi hasilkan ke Daerah.
“Ini menyadarkan kita semua, baik itu pemerintah daerah, masyarakat, semua stakeholder khususnya stakeholder pemerintah yang membuat undang-undang, yang tidak memperhatikan ketimpangan dampak, risiko dan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam pertambangan oleh badan usaha, bahwa perlu dikaji ulang dan evaluasi,” tuturnya.
Dalam Komponen Pajak Daerah ini belum menjadi fokus agenda dari EITI Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 Tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah.
“Dalam Perekonomian Sulawesi Tenggara Tahun 2020, kategori Pertambangan dan Penggalian memberikan nilai tambah pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas Dasar Harga Berlaku sebesar 26.371,59 Miliar Rupiah merupakan penyumbang terbesar kedua setelah pertanian dalam struktur PDRB Regioanal Daerah Provinsi Tahun 2020,” jelas Pembina Kerukunan Keluarga Baubau Buton (KKBB) Provinsi Sultra ini.
Dia mengakui, jika keberadaan potensi sumber daya mineral dan pengusahaannya ternyata belum optimal memberikan penguatan dalam penerimaan keuangan daerah.
Kondisi ekonomi wilayah, infrastruktur, sosial ekonomi pada wilayah kabupaten, kota Provinsi Sulawesi Tenggara yang menghasilkan sumber daya alam pertambangan masih jauh dari harapan, masih meninggalkan ketimpangan risiko dan manfaat bagi daerah dan masyarakatnya.
“Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengharapkan melalui MSG EITI pada tahun 2022, akan lebih memperkuat sistem pemerintahan dengan meningkatkannya transparansi dan akuntabilitas industri ekstraktif sektor energi dan sumber daya mineral,” Jelasnya.
Agar meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah karena public dapat melakukan check and balance memantau apakah pengelolaan sumber daya alam pertambangan di wilayahnya sudah sesuai dan memberikan manfaat, demi perbaikan sektor ini,” tutur Ketua Yayasan Masjid Agung Al-Kautsar Kendari ini.
Selanjutnya, masih kata dia, dalam rangka transparansi penerimaan daerah, sesuai Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Forum tersebut mengusulkan Pajak Daerah.
Sebab yang berkaitan operasi kegiatan Usaha Pertambangan seperti Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah, Pajak Alat Berat supaya dimasukan menjadi obyek fokus transparansi EITI Indonesia, karena nilainya sangat besar bisa mencapai ratusan miliar rupiah dalam memperkuat penerimaan daerah untuk pembangunan daerah. Pajak Daerah belum optimal masih banyak yang loss dan perlu transparansi dalam perhitungannya dan pemantauannya.
“Dari sudut pandang pelaku usaha atau bisnis, transparansi akan memberikan informasi yang setara kepada semua pihak sehingga pelaku bisnis akan berkompetisi secara sehat dalam memberikan kemanfaatan yang optimal bagi negara,” tandas mantan Sekretaris Dewan Riset Daerah Sultra ini. (**)
Laporan : Irmayanti Daud
Editor : Muhammad Sahrul