Konawe Utara, Kroscek.net – Aktivitas PT. Aneka Tambang (Antam) Tbk menjadi sorotan, lantaran diduga terlibat dalam penambangan ilegal dan perambahan hutan di Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi tenggara (Sultra).
Oleh karenanya, Forum Kajian Masyarakat Hukum dan Lingkungan (Forkam-HL) Sultra, melaporkan tindakan PT. Antam ke Kepolisian Resor (Polres) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dianggap telah merugikan keuangan negara senilai triliunan rupiah.
Sekretaris Forkam-HL Sultra, Agus Dermawan bahkan menyebut bahwa pemberdayaan pengusaha lokal oleh PT Antam Tbk, merupakan tameng agar memuluskan aksi perambahan hutan di Blok Mandiodo. Sabtu, (19/03/2022).
“Ini adalah aksi kejahatan pertambangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ucapnya.
Dijelaskan Agus, sesuai pernyataan Budi selaku Publik Relation PT. LAM bahwa PT. Antam Tbk memberikan kontrak kerja seluas 42 hektar yang saat ini telah tergabung dalam 24 perusahaan untuk kontrak produksi, termasuk Perumda Konasara.
“Dalam kegiatan 24 perusahaan yang dimaksud yaitu di eks Blok PT. MUGNI, eks Blok PT. Wanagon, eks Blok PT. Havard dan sebagian eks Blok PT. Sriwijaya,” jelasnya.
Lanjut Agus, berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan yang berkontrak hanya diberi luasan satu setengah hingga dua hektar saja.
Hal ini dinilai tidak rasional jika dibandingkan dengan keadaan di lokasi penambangan, dimana setiap perusahaan yang mendapatkan kontrak produksi melalui KSO-MTT, masing-masing bekerja lebih dari 2 Hektar.
“Belum lagi ketika kita sinkronkan dengan jumlah lahan yang Areal Penggunaan Lain (APL),” terangnya.
Kegiatan penambangan yang dilakukan Oleh PT. Antam dan PT. LAM itu, diduga dilakukan juga di kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) milik PT. KMS 27.
Berdasarkan fakta dan bukti tersebut, pihak perusahaan dengan masif dan terstruktur, masih beraktivitas sejak September 2021 hingga saat ini.
Aksi penambangan dan perambahan kawasan hutan di IPPKH PT. KMS 27, merupakan bentuk tindakan melawan hukum, dimana PT.Antam lakukan pembiaran, padahal sebagai perusahaan BUMN, seharusnya wajib menjaga agar hal itu tidak terjadi.
“Jika kemudian PT. Antam dan PT. LAM tidak terlibat, justru dapat kami duga bahwa PT. Antam dan PT LAM lakukan pembiaran, maka patut diduga PT. Antam berkonspirasi melakukan tindak pidana kejahatan pertambangan,” katanya.
PT. Antam tidak hanya melakukan kegiatan penambangan di Desa Mandiodo yang merupakan wilayah hutan produksi terbatas tanpa IPPKH, namun juga tidak adanya Rencana Kegiatan Anggaran Biaya (RKAB).
Lebih parahnya lagi, selain menambang secara ilegal dan merambah kawasan, hasil tambang tidak dijual dengan dokumen PT. Antam, sehingga keuntungan penjualan tidak masuk ke kas negara, melainkan hanya jadi keuntungan oknum-oknum tertentu.
“Sehingga negara harus hadir untuk menghentikan dan meminta pertanggung jawaban PT. Antam terkait perambahan kawasan hutan,” ungkap Agus.
Senada dengan itu, Iqbal selaku Dewan Penasehat Forkam-HL Sultra, mengungkapkab bahwa aktivitas ilegal yang melibatkan PT. Antam, telah menyulut konflik sosial di tengah-tengah masyarakat, lantaran pihak perusahaan secara terang-terangan, membongkar palang jalan tambang yang dibuat warga setempat.
Hal itu sesuai bukti rekaman video amatir berdurasi dua menit lima puluh detik, memperlihatkan karyawan lengkap dengan memakai atribut PT. Antam Tbk, turut serta untuk memaksa pembongkaran jalan hauling, agar pihaknya dapat masuk melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan.
Tak hanya itu, bukti lain diperlihatkan dalam video berdurasi 44 detik, tampak penambang ilegal memaksa masuk, bahkan mengarahkan untuk menabrak warga yang sedang menghalang-halangi kegiatan mereka.
Kejadian-kejadian penambangan ilegal dan perambahan kawasan hutan di Blok Mandiodo oleh PT. Antam, tak tersentuh hukum sama sekali, sehingga Forkam-HL Sultra mengatakan ini tidak bisa dibiarkan.
Apapun dasarnya Iqbal menegaskan bahwa isu pemberdayaan, tak bisa digunakan untuk terjadinya pelanggaran pidana pertambangan dan kehutanan.
“Kami akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas dan berharap APH dapat membuka hati, mata, dan telinga mereka agar tergerak untuk menuntaskan kasus ini untuk keadilan dan penegakan supremasi hukum,” tutup Iqbal. (*Red)