Konawe Utara, Kroscek.co.id – Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Konawe Utara, Dr. Safruddin, S.Pd., M.Pd., menegaskan bahwa kabar yang menyatakan tidak ada tanah adat di Konawe Utara adalah keliru namun perlu diluruskan.
Hingga kini memang belum ada penetapan legal yang memperkuat status tanah adat secara hukum di wilayah Konut. Pernyataan itu disampaikan Sekda menanggapi polemik publik terkait klaim dan kontra klaim kepemilikan lahan.
Menurutnya, persoalan tanah adat bukan soal “ada atau tidaknya” dalam pengertian budaya, melainkan soal kejelasan lokasi dan penguatan hukum yang hingga kini belum tertuang dalam keputusan adat dan peraturan daerah.
“Bukan persoalan meniadakan tanah adat. Persoalannya adalah sampai sekarang kita belum memiliki hasil musyawarah adat yang menetapkan lokasi-lokasi yang dimaksud sehingga memiliki kekuatan hukum,” ujar Dr. Safruddin, Senin (27/10/2025).
Sekda menekankan beberapa poin penting:
• Musyawarah Adat harus menjadi langkah pertama. Penentuan lokus (titik/lokasi) tanah adat mesti lahir dari proses adat yang melibatkan lembaga adat dan masyarakat setempat.
• Lembaga Adat yang ada harus diberdayakan dan menjadi rujukan formal, bukan klaim sepihak berbasis surat tanpa kekuatan hukum.
• Peraturan daerah (Perda) menjadi instrumen berikutnya: hasil musyawarah adat perlu dikonsolidasikan agar dapat dijadikan dasar regulasi daerah yang melindungi kepastian hukum hak-hak adat.
• Tujuan utama adalah menghindari adu domba dan konflik sosial akibat klaim-klaim yang belum terverifikasi secara hukum.
Sekda juga mengajak seluruh pihak, pemerintah kecamatan, kelurahan, kepala desa, tokoh adat, dan masyarakat, untuk segera menyatukan langkah.
“Kita harus musyawarahkan. Kalau memang ada konsep dasar yang dilahirkan melalui musyawarah adat, kita dudukkan bersama dan dorong regulasinya menjadi Perda. Dengan begitu ketika ditanya, kita punya satu bahasa. Ini tanah adat yang ditentukan berdasarkan kaidah hukum yang ada,” kata Safruddin.
Pernyataan Sekda menyiratkan dua pesan utama. Pertama, pengakuan terhadap eksistensi adat dan hak-hak tradisional, kedua, kebutuhan memperkuat eksistensi tersebut melalui proses hukum dan regulasi yang sah agar tidak menjadi sumber konflik.
Sebagai penutup, Sekda mengingatkan bahwa sampai penetapan dan penguatan hukum dilakukan, klaim sepihak dan tindakan yang memicu ketegangan harus dihindari. Pemerintah daerah membuka ruang musyawarah sebagai jalan keluar yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh pihak. (**)
Laporan: Muh. Sahrul

























