Kendari, Kroscek.co.id – Sejumlah organisasi masyarakat sipil (NGO) dari Indonesia dan Korea Selatan mendesak pemerintah kedua negara untuk menghentikan ekspansi tambang nikel dengan memberlakukan moratorium izin pertambangan.
Selain itu, mereka juga menuntut adanya regulasi ketat terhadap rantai pasokan baterai kendaraan listrik (EV) guna memastikan industri ini tidak merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.
Organisasi yang terlibat dalam desakan ini meliputi Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara, Advocate for Public Interest Law (APIL), dan Climate Ocean Research Institute (CORI).
Tergabung di NGO itu mengecam dampak negatif pertambangan nikel di Indonesia, terutama di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang menjadi contoh nyata bagaimana industri ekstraktif dapat memperburuk krisis lingkungan dan sosial.
Deforestasi akibat pertambangan di wilayah tersebut semakin meningkatkan risiko bencana ekologis, terutama banjir tahunan yang semakin parah. Tak hanya itu, dampak sosial dari ekspansi tambang juga dirasakan masyarakat.
“Kemiskinan meningkat di kawasan tambang. Paling tinggi di wilayah pertambangan mencapai 9,91 persen, padahal di sana peredaran uang banyak sekali,” ungkap Kisran, salah satu aktivis yang terlibat dalam advokasi ini. Rabu (12/02/2025).
Meskipun pemerintah Indonesia tengah mendorong hilirisasi industri nikel, kebijakan ini dinilai belum mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan serta hak masyarakat adat. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan Korea Selatan terus meningkatkan investasinya dalam industri baterai kendaraan listrik.
“Namun, pemerintah Korea Selatan dinilai belum mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa rantai pasokan EV yang mereka dukung bebas dari pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan,” Jelasnya.
Oleh karena itu, organisasi masyarakat sipil mendesak agar segera diberlakukan Undang-Undang Uji Tuntas Lingkungan dan Hak Asasi Manusia dalam Rantai Pasok, yang akan memastikan tanggung jawab korporasi dalam menjaga keberlanjutan industri dan melindungi hak-hak masyarakat terdampak.
Konawe Utara, sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara, telah berulang kali dilanda banjir yang diduga kuat berkaitan dengan aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan yang berfungsi sebagai penahan air alami.
Akibatnya, saat hujan deras terjadi, air hujan tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah dan langsung mengalir ke pemukiman warga, meningkatkan risiko banjir.
Pada Juli 2024, banjir besar melanda Konawe Utara, merendam 19 desa di enam kecamatan, termasuk Andowia, Asera, Wiwirano, Landawe, Langgikima, dan Oheo. Banjir ini menyebabkan ribuan warga mengungsi dan kerugian material yang signifikan.
Masyarakat setempat menyoroti bahwa aktivitas pertambangan yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama banjir tersebut.
Selain itu, pada Desember 2022, banjir kembali terjadi di Desa Tapunggaya dan Tapuemea, Kecamatan Molawe. Warga menduga bahwa banjir ini disebabkan oleh aktivitas pertambangan di area tersebut, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya daerah resapan air.
Kerusakan lingkungan akibat pertambangan tidak hanya meningkatkan risiko banjir, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, diperlukan penegakan regulasi yang ketat dan pengawasan terhadap aktivitas pertambangan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut dan mengurangi risiko bencana dimasa depan. (**)
Laporan : Muh Sahrul