Oleh : Muhammad Sahrul
Catatan Redaksi Kroscek.co.id
Di atas Tanahmu yang subur, angin laut yang berhembus lembut, dan hutan yang menaungi kehidupan, kini ada luka yang menganga.
Bumi yang dulu memberi makan dan tempat berlindung bagi anak-anakmu, kini terancam oleh kerakusan yang tak mengenal batas.
Pulau Wawonii kembali menjerit. Di tengah kemenangan hukum yang diperoleh masyarakat melalui putusan Mahkamah Agung (MA).
Perusahaan tambang PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) diduga masih beroperasi tanpa mengindahkan keputusan MA.
Bagi warga Wawonii, perjuangan melawan tambang bukan sekadar soal hukum, tetapi juga tentang hak hidup, tanah, dan lingkungan yang mereka warisi dari leluhur.
Wawonii, kau telah berteriak, kau telah melawan. Bertahun-tahun rakyatmu berdiri tegak, menolak tambang yang ingin merampas ruang hidup mereka.
Ketika Mahkamah Agung berpihak padamu, kami semua mengira bahwa keadilan akhirnya tiba. Tapi kenyataannya, keadilan itu belum juga benar-benar hadir.
Di atas tanahmu, alat-alat berat masih bekerja. Di hutanmu, pohon-pohon masih tumbang. Dan di lautmu, nelayan masih bertanya-tanya, sampai kapan mereka harus kehilangan harapan?.
Warga Wawonii bertanya-tanya, apakah hukum hanya berpihak kepada yang berkuasa? Apakah keputusan MA hanya sekadar dokumen tanpa kekuatan eksekusi?.
Organisasi masyarakat seperti LIRA Sultra telah bersuara lantang, mendesak KPK untuk turun tangan dan mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan PT GKP.
Namun, tanpa tindakan nyata dari aparat penegak hukum, keadilan bagi Wawonii masih jauh dari harapan. Perusahaan yang seharusnya pergi masih bertahan. Hukum yang seharusnya melindungi malah membiarkan.
Wawonii, namamu kini bukan hanya sekadar pulau kecil di Sulawesi Tenggara. Namamu adalah simbol perlawanan, suara rakyat yang menolak tunduk pada keserakahan.
Namun, hingga kini, belum ada tindakan tegas dari aparat hukum. Negeri ini seolah tuli terhadap jeritan rakyatnya sendiri. Wawonii menjerit. Tapi apakah negeri ini masih punya telinga untuk mendengar?
Ataukah hukum akan terus tunduk di hadapan kuasa modal? Jika suara rakyat tak juga digubris, bukan tidak mungkin jeritan ini akan berubah menjadi perlawanan yang lebih besar.
“Saat hukum tak lagi bisa melindungi rakyat, maka rakyatlah yang akan berdiri menjaga tanah mereka sendiri,” Untaian.
Kau bukan sekadar sepetak tanah di peta, kau adalah rumah bagi mereka yang berjuang menjaga warisan leluhur.
Hari ini, tulisan ini kutujukan untukmu. Untuk tanah yang menangis, untuk laut yang menjerit, untuk rakyatmu yang tak kenal lelah mempertahankan haknya.
Tetaplah kuat, Wawonii. Jika negeri ini belum mendengar, kami akan terus menulis (independen) dan bersuara untukmu. (**)